Ketika aku
menulis puisi ini, jemariku terasa kaku
Otak kanan dan
kiri ku bekerja sama mencerna, mencari, dan berpacu
Namun, tak satu kata pun yang berhasil muncul
dalam satu jam kemudian pada lembar kertas ini
Apakah ada yang
salah dengan kata “Bapak”?
Lagi dan lagi,
aku terus mencari.
Apa kata yang
tepat untuk menggambarkan seorang “Bapak”?
Lagi dan lagi,
emosiku mulai hadir dan beradu argumen dengan hati.
Untuk orang yang
selalu menjadi kaki, tangan, tubuh kedua kita,
Kenapa begitu
susah untuk sekedar mencari huruf pertama?
Yang aku tahu,
bapakku adalah orang yang melulu memintaku untuk tak telat makan
Bapakku adalah
orang yang pukul sepuluh malam bangun dari tidurnya ketika aku mengatakan,
“Pak, lapar
sekali perut anakmu ini”
Kemudian, ia
mengayuh sepedanya untuk pergi ke warung 24 jam
Yang aku tahu,
bapakku adalah orang yang membuatku menjadi seorang sarjana
Susah payah ia
bekerja, pagi, siang, dan malam
Hingga melawan
batuk serta merta berdarah demi melangkahkan kakiku di bangku kuliah
Yang aku tahu,
bapakku adalah pahlawan
Bukan Soekarno,
bukan Diponegoro
Bapakku adalah
bapakku
Yang merengkuhku,
memeluk, dan menggendong agar aku tetap merasa aman
Lantas, kenapa
segalanya menjadi rancu ketika aku memikirkan huruf pertama untuk bapak?
Ya, aku tahu.
Sebab, aku
terlalu pengecut
Nyaliku menciut
tiap kali ingin katakan, “Aku sayang bapak”
Ada ego dalam
diriku yang untuk berterima kasih pun aku enggan
Pak, sepertinya
aku telah hidup pada zaman orang kebanyakan
Aku telah hidup pada
zaman para penganut egoisme berkeliaran
Aku, memendam
gengsi dan tak tahu diri
Dengan beribu
maaf yang hanya mampu aku ucapkan dalam hati,
Maka, huruf
pertama untuk bapak adalah,
Aku yang tak
tahu diri.
No comments:
Post a Comment