Saturday, August 6, 2016

FORSAP go to SUMBER, PROBOLINGGO (?)

Yes, in this opportunity, i want to tell you about my story when i and my friends in FORSAP go to Sumber, Probolinggo. Kali ini bukan menulis tentang puisi lagi sih ya lebih ke cerita aja ehehe. Jadi, di kampus saya,  Universitas Brawijaya tercinta, saya ikut organisasi yang bernama FORSAP. Kepanjangan dari Forum Solidaritas Arek Probolinggo. Yessss, i am Probolinggo-ers. Hahaha saya lahir dari Probolinggo dan berasal asli dari Probolinggo. FORSAP ini merupakan organisasi yang ada di Universitas Brawijaya yang anggotanya adalah mahasiswa-mahasiswi yang berasal dari Kota Probolinggo. 

Then, one day, FORSAP have a great event. It is called "Pengabdian Masyarakat". Acara pengabdian masyarakat kali ini dilakukan di SMKN1 Sumber, Probolinggo. Why? Because, we get information that the students there seldom to go to school. Although, all about expense is free. Mulai dari seragam, SPP, kegiatan ekstrakurikuler, semuanya gratis. Tapi, murid disana masih sedikit yang punya keinginan buat datang dan belajar ke sekolah. 

After confirm that information, ternyata yang terjadi benar-benar demikian. Bapak Kepala Sekolah yang bersangkutan pun juga turut senang karena kami, mahasiswa Probolinggo Universitas Brawijaya mau membantu murid-murid disana untuk memotivasi datang ke sekolah. 

Dengan cara apa sih FORSAP mengabdi?

Naaaah, kita bikin semacam acara seminar untuk murid-murid disana. Ada dua materi, tentang motivasi untuk belajar ke sekolah dan tentang pentingnya pendidikan. Mungkin karna tau kalau FORSAP datang ke sekolah tersebut, akhirnya semuanya pada antusias gitu ya banyak yang mau datang ke sekolah dan ikutan hehehe.

Terus kita lanjut ke permainan bola voli. Fyi, murid-murid di SMKN1 Sumber ini sangat super duper jago bermain voli, guys! Teman-teman FORSAP aja kalah dilawan habis-habisan hehehe.

Ketika ada waktu luang, ada beberapa murid perempuan dari SMKN 1 Sumber ini duduk di dekat saya dan beberapa teman saya. Saya iseng-iseng tanya ke mereka nih. Namanya siapa, kelas berapa, dan identitas lainnya gitu. Ternyata namanya adalah :
1) Miasri
2) Mirnawati
3) Putri Ayu Cahyaningsih

Finally, I ask to them, sebenernya kenapa alasan murid-murid disini jarang datang ke sekolah. Dan, jawaban mereka sangat sangat  tidak tertebak! 

"Ya gimana ya mbak, disini kalau sekolah tinggi-tinggi malah diomongin sama tetangga. Mereka bilang, sudah besar kok masih sekolah" - Miasri

"Kebanyakan disini setelah lulus SMP langsung dinikahkan sama orang tuanya, mbak. Cuma beberapa yang berpikiran untuk lanjut sekolah."- Mirnawati

Guysssss :") 
Three girls say to me that they still want to study. Mereka bertiga termasuk orang-orang yang rajin datang ke sekolah walaupun diterpa pemikiran-pemikiran seperti itu di lingkungannya. Ada juga alasan lain yaitu masalah jauhnya jarak antara rumah dan sekolah mereka. Daaaan, jalanannya pun tidak semulus jalan raya. Naik turun berkelok-kelok dan berbatu-batu. Bahkan tiga super woman ini harus menempuh perjalanan sekitar 1-2 jam untuk sampai di sekolah. 

Walaupun teman-teman yang lain banyak yang putus asa pergi ke sekolah dikarenakan jarak dan pemikiran orang tua yang demikian, tiga super woman yang berbicara pada saya masih tetap ingin belajar. Daebak! 

Semangatlah kalian wahai teman-teman! Menikah bisa nanti, sukses dulu. Belajar dulu. Milikilah modal pengetahuan yang cukup untuk mendidik anak anak kalian nanti. Jadilah orang yang bisa di banggakan! Pendidikan itu penting, right?

Dan, btw, thank you FORSAP sudah mengijinkan saya untuk bergabung di acara ini. Semoga selalu tetap bisa mengabdi ya!


 

    (Me, Miasri, Mirna, and Putri)



Tuesday, July 7, 2015

Huruf Pertama Untuk Bapak

Ketika aku menulis puisi ini, jemariku terasa kaku
Otak kanan dan kiri ku bekerja sama mencerna, mencari, dan berpacu
 Namun, tak satu kata pun yang berhasil muncul dalam satu jam kemudian pada lembar kertas ini
Apakah ada yang salah dengan kata “Bapak”?
Lagi dan lagi, aku terus mencari.
Apa kata yang tepat untuk menggambarkan seorang “Bapak”?
Lagi dan lagi, emosiku mulai hadir dan beradu argumen dengan hati.
Untuk orang yang selalu menjadi kaki, tangan, tubuh kedua kita,
Kenapa begitu susah untuk sekedar mencari huruf pertama?

Yang aku tahu, bapakku adalah orang yang melulu memintaku untuk tak telat makan
Bapakku adalah orang yang pukul sepuluh malam bangun dari tidurnya ketika aku mengatakan,
“Pak, lapar sekali perut anakmu ini”
Kemudian, ia mengayuh sepedanya untuk pergi ke warung 24 jam

Yang aku tahu, bapakku adalah orang yang membuatku menjadi seorang sarjana
Susah payah ia bekerja, pagi, siang, dan malam
Hingga melawan batuk serta merta berdarah demi melangkahkan kakiku di bangku kuliah

Yang aku tahu, bapakku adalah pahlawan
Bukan Soekarno, bukan Diponegoro
Bapakku adalah bapakku
Yang merengkuhku, memeluk, dan menggendong agar aku tetap merasa aman

Lantas, kenapa segalanya menjadi rancu ketika aku memikirkan huruf pertama untuk bapak?
Ya, aku tahu.
Sebab, aku terlalu pengecut

Nyaliku menciut tiap kali ingin katakan, “Aku sayang bapak”
Ada ego dalam diriku yang untuk berterima kasih pun aku enggan
Pak, sepertinya aku telah hidup pada zaman orang kebanyakan
Aku telah hidup pada zaman para penganut egoisme berkeliaran
Aku, memendam gengsi dan tak tahu diri

Dengan beribu maaf yang hanya mampu aku ucapkan dalam hati,
Maka, huruf pertama untuk bapak adalah,

Aku yang tak tahu diri. 

Sunday, December 21, 2014

PROSA : Gadis Itu Jatuh Cinta (Diam-Diam)

Apa kau pernah merasakan ada sesuatu yang berbeda saat kau melihat seseorang yang bahkan tak kau kenal sekalipun? Sembari hatimu belum bergetar, tapi ia telah mencuat bahagia. Kalau pernah, berarti bukan cuma aku yang hampir gila. 

Awalnya, aku menganggap peristiwa itu hanya sekelebat lewat. Mungkin karena ia adalah sosok rupawan yang kharismatik, aku rasa ini hanya kagum sesaat. Namun, takdir Tuhan membuatku melihat sosok itu dengan intensitas yang lebih banyak dari biasanya. Bentuk sepatunya, model celana yang ia kenakan, baju yang sering ia pakai, dan aroma tubuh itu, panca indera ku mulai merekamnya, menangkap dan menyampaikan ke otak. Hingga dalam beberapa meter pun, aku bisa mendeteksi keberadaannya. Dari situlah, sebuah pengharapan muncul.

Memang salah, jika manusia berharap atau bahkan bergantung hidup kepada manusia lain. Tapi, perasaan ini terjadi begitu saja. Tanpa di undang, tanpa diminta. Aku bisa apa? Menolak? Tidak, aku hanya menikmati skenario Tuhan. Mendekatpun aku tak punya nyali. Aku paham, Tuhan juga tidak suka menatapku bersikap berlebihan kepada seseorang.

Tunggu dulu, jangan kalian pikir, dia adalah teman dekat atau orang yang saling bertegur sapa denganku. Tidak sama sekali. Aku bisa menghitung berapa banyak kata yang ia keluarkan kepadaku. Mungkin dua puluh kata, dua puluh dua kata, atau dua puluh tiga kata, atau…. Entahlah. Bahkan aku berani bertaruh, bahwa ia pun tidak mengerti siapa namaku. Ia hanya mengerti aku sebagai seorang teman yang (sekali lagi) tidak ia ketahui namanya. Mungkin kalian bisa mencerna sendiri serumit apa sebenarnya ceritaku ini.

Banyak detik yang aku hitung saat mataku berhasil menatapnya. Bukan, bukan menatap wajahnya. Tetapi menatap hanya sebatas punggungnya saja.  Begitupun aku sudah senang. Walau tak bisa ku raih, walau banyak orang yang lebih menghebohkan rasa sukanya kepada dia, dan walau semua hanya sekelebat saja. Tetapi, sekali lagi, aku hanya penikmat skenario Tuhan. Dan aku paham, tidak ada yang lebih indah selain mengikuti alurNya serta mendoakan dia (seseorang yang mungkin kita sukai, mungkin tidak) dalam sujud kita. Karna istimewa rasanya jika kita bisa memperkenalkan “calon penghuni kehidupan kita” dengan Tuhan. Dan sekali lagi, aku (telah) jatuh cinta diam-diam. 

Friday, September 19, 2014

Bicara Jatuh Cinta



Sejatinya, jatuh cinta adalah tanggung jawab. Pertama, kita menyukai atau mengagumi seseorang. Tentu hal yang kita lakukan adalah mendekat. Mencari tahu apa yang ia suka dan mengikuti perkembangan-perkembangan tentang hidup orang tersebut. Mendekat merupakan aksi. Mendekat adalah wujud kita untuk memicu orang yang kita suka untuk melihat ke arah kita.

Kenapa saya mengatakan bahwa jatuh cinta adalah perihal tanggung jawab? Sebab, kita membawa dia dalam kehidupan yang kita miliki. Maka, “aku menyukai kamu”,”aku menyanyangi kamu” adalah tentang membawa dia berbagi dunia dengan kita. Ibaratnya, untuk menulis kita memerlukan pensil. Maka, kita akan membawa pensil itu menuju kertas yang akan kita gunakan untuk menulis. Pensil itu memiliki peranan untuk mengisi apa yang akan kita tulis dalam selembar kertas tersebut. Bila kita meninggalkan atau menghilangkan pensil itu, maka kita tidak bertanggung jawab atas apa yang akan kita tulis. See? 

Kertas adalah dunia yang kita miliki dan pensil adalah orang yang kita kagumi. Kita membawa dia dalam kehidupan dan dunia yang kita miliki untuk mengisi hari-hari kita. Jadi, apabila kita meninggalkan dia, maka kita tidak bertanggung jawab atas apa yang kita bawa. 

Mungkin akan muncul pertanyaan, “Bukankah itu hanya untuk orang yang pertama kali jatuh cinta terhadap kita? Bagaimana dengan ‘receiver’ cinta seperti orang yang di dekati atau orang yang disukai?”

Saya mengatakan bahwa itu sama. Kenapa? Kita menyetujui kehadiran mereka. Kita menangkap apa yang mereka beri terhadap kita. Kita juga menmpersilahkan mereka untuk masuk dalam kehidupan kita.

Saya bisa mengatakan demikian sebab dewasa ini saya sadar bahwa cinta terhadap lawan jenis adalah satu. Saya berkelana dalam banyak perihal tentang cinta. Tetapi saya bisa mengatakan hal-hal seperti ini karena sebuah kesadaran. Bahwa cinta itu tunggal dan tidak seharusnya ditinggalkan.

Jadi, kembali pada opini saya bahwa jatuh cinta adalah perihal tanggung jawab. Ia bertanggung jawab apabila ia tidak meninggalkan apa yang telah ia bawa. This is just my opinion, if you don’t agree, it’s your choice.

Wednesday, January 1, 2014

Terlambat


Kau tahu apa arti kata 'terlambat' ?
Lantas, apa kau mengerti bagaimana merasakan sesuatu yang datang terlambat ?

Jawabku, sesak.
Kau pasti pernah mendengar nenek moyang zaman awam dulu selalu bilang,
"Kesempatan tidak akan datang dua kali"
Ya, maka sekali kau membuatnya terhempas sia-sia, bisa jadi kesempatan itu lenyap

Sama seperti sesuatu bernama cinta.
Cinta yang datang terlambat.

Keterlambatan membuat kita terlampau sering menggunakan kata "andai, seandainya"
dan semua berujung penyesalan.

Untuk sesuatu yang dulu pernah datang lalu terabaikan,
Untuk sesatu yang dulu pernah berusaha namun tak terhiraukan

Untuk sesuatu yang sekarang berubah ambigu.
Untuk sesuatu yang sekarang teramat aku cinta.

Atas kesalahan di masa lalu,
Semoga segala rasa itu masih tertahan disana
Di sebuah hati yang sekarang ingin aku kenali

Atas kesalahan di masa lalu pula,
Aku mencoba merajut sendiri serangkaian kalimat
yang mungkin bisa membawamu bersanding disini
Dan membiarkan hati kita bergandengan



Saturday, November 2, 2013

Membilang Kita

Ada rasa sesak saat pembicaraan ini dimulai. Sesuatu yang saat ini menjadi sakral untuk ku sebut.

Membilang kita. 
Lagi-lagi perihal kita.
Perjalanan yang tak kunjung usai, namun telah pada puncak.

Dulu, kau sebut mawar berwarna merah. 
Kau bercerita betapa indahnya mawar itu walaupun ia memiliki duri yang bisa membuatmu terluka. 

Dulu, kau sebut kita adalah pemilik semesta. 
Kau bercerita betapa bahagianya menjadi pemilik semesta dan membaginya denganku.

Dulu, kau sebut memoriam senja yang paling dahsyat. 
Kau bercerita betapa bangganya menikmati senja hanya bersamaku.

Namun, bukankah bumi masih berotasi ?
Tentu saja semua bisa berubah bukan ?

Sayang,
Perjalan yang silih berganti ini membuat kau lupa akan dermagamu. 
Tempat akhirmu untuk berlabuh.

Aku tak mengenal lagi mana mawar merah. 
Yang aku tahu, betapapun merona bunga mawar, tetap saja ia memiliki duri.
Perlu waspada agar tidak tersakiti.

Aku tak mengenal lagi semesta hanya milik kita berdua. 
Seperti yang terjadi saat ini. Bukankah kau sedang asyik membagi semesta ini dengan berbagai hal yang membuatmu lupa bahwa 'aku masih disini' ?

Tentu saja aku juga tak mengenal lagi apa itu senja
Semuanya terlihat abu-abu. Ketidak jelasan yang penuh ambigu

Sayang, 
Bukankah janji adalah janji ? 
Setidaknya kau perlu sedikit berhati-hati pada tiap kata yang kau ucapkan per tiap detiknya
Satu kata salah, hancur sudah rangkaian kata yang telah kau rajut

Sayang, 
Membilang kita tepat pada di puncak
Masih ingatkah kau pada jalan pulang menuju dermagamu ?

Kalau Tuhan benar-benar memulihkan ingatanmu, aku bersyukur
Ternyata Tuhan tidak membiarkanmu menjadi pendusta

Tetapi bila Tuhan memberi takdir untuk membuatmu lupa, aku bisa apa ?
Mungkin aku perlu berserah. Sedikit demi sedikit memperbaiki sendiri apa yang telah pudar.
Menata kembali apa yang pernah kita buat

Dan seperti yang pernah kau katakan pula
Kau menyerupai udara. Kalau memang benar, seharusnya aku masih tetap bisa merasakannya pada tiap-tiap helaan nafas yang terhembus.




Wednesday, October 16, 2013

Bertemu "Joseph Theodorus Wulianadi"

Kalian pasti mengenal "JOGER" bukan ?

Tepat pada hari Minggu, 13 Oktober 2013, saya bertemu dengan seseorang yang luar biasa ini. Namanya "Joseph Theodorus Wulianadi". Pemilik sah, pembangun fondasi awal JOGER.

Hari Minggu itu kebetulan saya sedang berada di daerah Bali dan memang berniat mengunjungi Joger. Entah mungkin ini yang dinamakan "bejo", kebetulan sekali ada Bapak Joseph Theodorus Wulianadi tersebut. Awal bertemu, ia terlihat sedang meramal seorang pelanggan. Saya tertarik. Caranya bukan seperti orang meramal, tetapi seperti orang sedang memberikan motivasi yang membangkitkan semangat. Iseng, saya minta berfoto bersama bapak Joger tersebut.

"Kalo foto sama saya jempolnya harus begini..." katanya.





Orangnya ramah sekali. Terlihat jelas kenapa beliau bisa membuat kata-kata sebegitu menariknya dan lucu.Ayah saya tiba-tiba bilang, "Makasih ya, Pak sudah mau foto dengan anak saya. Ini loh bingung mau nerusin kuliah dimana". Haha saya cuma bisa diam dan menahan tawa. Tiba-tiba juga bapak Joger ini menyuruh saya duduk. Seperti di hipnotis juga sebenarnya. Beliau bilang, "Kenapa harus bingung? Setiap orang kan punya pilihan dan bakat masing-masing."

Beliau meminta saya memejamkan mata. Menarik nafas perlahan. Persis seperti dihipnotis. Tapi jujur, rasanya saat itu memang tenang. Benar-benar damai.

"Coba fokus. Tenang sebentar. Lalu pikirkan apa yang ingin kamu capai. Kamu cantik, kamu pintar, kamu baik. Anak cantik tidak boleh bingung.Kalau kamu suka terhadap sesuatu, lakukan saja. Berusaha sebaik mungkin."

Sebenarnya saya kurang fokus waktu itu. Sedikit menahan tawa. Sambil memikirkan apa yang saya capai, seperti ada telepati, bapak Joger ini tau apa yang saya inginkan.



"Kamu cuma ragu. Sebenarnya kamu bisa. Tuhan itu baik. Tuhan tidak akan membuat hambaNya merasa gagal. Tuhan pasti memberikan yang terbaik untuk kita semua dengan caranya sendiri."

Iya, saya ragu. Terutama dengan masa depan.

"Coba buka mata pelan-pelan. Sudah lega?"

Iya, rasanya benar-benar lega. Sungguh. Penuh optimisme. Ternyata bapak ini benar-benar motivator yang hebat. Jelas saja beliau sukses. Dengan kerendahan hatinya, beliau mau membaur dengan pelanggan setianya, dengan siapa saja.

"Saya punya kenalan. Dia pengen masuk jurusan Matematika. Tapi dia takut. Dia tidak suka berhitung. Ada juga lagi. Dia pengen masuk jurusan bahasa Inggris. Tapi dia takut. Karena banyak istilah asingnya. Lalu kalau perasaan 'takut' terus merajalela, bagaimana bisa berjalan dengan baik?" katanya.

"Lawan apa yang membuat kamu takut. Itu kunci utama."

Ada perasaan bangga dan entah kenapa bisa menjadi "super semangat" seperti ini setelah bertemu dengan Bapak Joger. Senyum Bapak Joger, cara dia berbicara, menggambarkan bahwa beliau benar-benar orang yang hebat.

Untuk teman-teman semua, ayo kita berusaha dan berjuang bersama-sama. Waktu kita tidak banyak. Motivasi dari Bapak Joger ini untuk kita semua. Semangat teman-teman seperjuangan ! 

Terima kasih, Bapak Joseph Theodorus Wulianadi ! :)









Belumt tahu cerita Bapak Joseph Theodorus W ?
Check it out :
http://kisahsukses.info/kisah-sukses-joseph-theodorus-wulianadi-sang-mr-joger-bali.html
http://true-success-story.blogspot.com/2008/07/joseph-theodorus-wulianadi-mr-joger.html