Ada rasa sesak saat pembicaraan ini dimulai. Sesuatu yang saat ini menjadi sakral untuk ku sebut.
Membilang kita.
Lagi-lagi perihal kita.
Perjalanan yang tak kunjung usai, namun telah pada puncak.
Dulu, kau sebut mawar berwarna merah.
Kau bercerita betapa indahnya mawar itu walaupun ia memiliki duri yang bisa membuatmu terluka.
Dulu, kau sebut kita adalah pemilik semesta.
Kau bercerita betapa bahagianya menjadi pemilik semesta dan membaginya denganku.
Dulu, kau sebut memoriam senja yang paling dahsyat.
Kau bercerita betapa bangganya menikmati senja hanya bersamaku.
Namun, bukankah bumi masih berotasi ?
Tentu saja semua bisa berubah bukan ?
Sayang,
Perjalan yang silih berganti ini membuat kau lupa akan dermagamu.
Tempat akhirmu untuk berlabuh.
Aku tak mengenal lagi mana mawar merah.
Yang aku tahu, betapapun merona bunga mawar, tetap saja ia memiliki duri.
Perlu waspada agar tidak tersakiti.
Aku tak mengenal lagi semesta hanya milik kita berdua.
Seperti yang terjadi saat ini. Bukankah kau sedang asyik membagi semesta ini dengan berbagai hal yang membuatmu lupa bahwa 'aku masih disini' ?
Tentu saja aku juga tak mengenal lagi apa itu senja
Semuanya terlihat abu-abu. Ketidak jelasan yang penuh ambigu
Sayang,
Bukankah janji adalah janji ?
Setidaknya kau perlu sedikit berhati-hati pada tiap kata yang kau ucapkan per tiap detiknya
Satu kata salah, hancur sudah rangkaian kata yang telah kau rajut
Sayang,
Membilang kita tepat pada di puncak
Masih ingatkah kau pada jalan pulang menuju dermagamu ?
Kalau Tuhan benar-benar memulihkan ingatanmu, aku bersyukur
Ternyata Tuhan tidak membiarkanmu menjadi pendusta
Tetapi bila Tuhan memberi takdir untuk membuatmu lupa, aku bisa apa ?
Mungkin aku perlu berserah. Sedikit demi sedikit memperbaiki sendiri apa yang telah pudar.
Menata kembali apa yang pernah kita buat
Dan seperti yang pernah kau katakan pula
Kau menyerupai udara. Kalau memang benar, seharusnya aku masih tetap bisa merasakannya pada tiap-tiap helaan nafas yang terhembus.